Sudah dirawat di rumah Gedangan. Terimakasih buat yang dulu sempat baca postingan saya disini dan sempat mendoakan Nenek. Agaknya doa kalian manjur... ^^
Banyak cerita sebenarnya ketika saya menginap di Rumah Sakit Husada Utama, Surabaya dan menjaga nenek selama 3hari-3malam. Buat yang gak tertarik, kalian stop baca sampai sini saja...saya kuatir menambah dosa saya jika saya menyiksa kalian dengan tulisan saya yang membosankan ini.. :p
Sebenarnya ini rangkuman banyak cerita dari kunjungan saya ke Surabaya selama 3 minggu kemarin. Selama di RS ini saya tidak mendapatkan tidur yang nyaman. "YA IYALAH JENG... RS MANA YANG BISA BIKIN KITA TIDUR NYENYAK?" Hahahaha! iya sih.. saya cuman mengandalkan 2 buah bantal yang biasa saya simpan di mobil yang lalu menjadi teman tidur saya selama di RS. Di RS bisa tidur 4jam itu udah bersyukur banget. Lha gimana nggak? Jam setengah 5 pagi, suster-suster sudah berkeliling mendatangi pasien dan bersiap memandikan(menyeka) pasien. Sementara suster tersebut terakhir melakukan terapi sekitar jam 12-1 dini hari. Jam 1 dini hari itu juga saya baru terasa agak ngantuk. Fiuh! Di hari pertama saya masih nekat mandi tengah malam karena ampun
ya...tidak tahan dengan gerahnya Surabaya. Hehe...padahal ini tanah
kelahiran saya yang tercinta! :')
Saya nekat mandi di kamar mandi pasien yang baunya...aduhai! Bau urin ntah urin pasien yang mungkin masih melekat di pispot yang bersandar dibawah kaca wastafel atau....urin pengunjung, para penjaga pasien yang ada diujung kamar 601, kamar kelas 3... Harusnya saya bisa maklum ya kalau aroma urin yang tersisa di kamar mandi itu sulit dihilangkan sekalipun sudah disiram berulang kali dan ada 'exhaust fan' yang masih aktif bekerja 24/7 di kamar mandi tersebut karena...yang jaga BANYAK. Nenek memang menginap di kamar kelas 3, yang mana kamar ini terisi 5 bed dan hanya 1 bed yang kosong. Susah payah saya menahan nafas sambil mulai melakukan ritual mandi serta membersihkan diri jelang tidur malam hari...sialnya, saya lupa membawa sabun mandi. Memang ada sih tersedia beberapa sabun mandi batangan disana. Tapi? "Hello...itu sabun mandi udah dipegang siapa aja ya? Dipakai untuk membersihkan apa saja ya...???" Antara ngeri dan pengen ketawa dengan ketakutan saya sendiri akan sabun mandi di kamar mandi itu lantas saya bergegas mengeluarkan sabun muka saya dan buru-buru mengeluarkan isinya banyak-banyak dan segera saja sabun muka itu berfungsi menjadi sabun mandi. Hahaaaa...! Saya dulu juga pernah melakukan hal serupa ketika saya masih di bangku kuliah. Nekat mandi di kamar mandi kampus dan kepepet tidak ada sabun mandi tapi harus segera berangkat ke luar kota untuk mengikuti acara organisasi, maka sabun muka pun menjelma sebagai sabun mandi dan saya berangkat dengan badan segar dan wangi. Sip tho? :))))
Setelah mandi dan keramas saya menyempatkan duduk-duduk di sofa lobi lantai 6 ini. Kosong. Sepiiii sekali. Didepan saya adalah bagian dari hotel RS yang memang ditujukan untuk keluarga pasien yang berniat bermalam di RS tapi tidak di dalam kamar pasien seperti saya.. :p Kabarnya harga kamar per malam di hotel RS. Husada Utama ini sekitar IDR 450K. Saya juga tidak mengerti itu untuk tipe apa. Tapi saya cukup senang bisa duduk selonjor sambil telpon pak bojo dan mengeringkan rambut disini.
enak ya..sepi. ini tengah malam, lho.. ngeri? gak juga siy... saya udah gak mikir hantu-hantuan di kondisi yang super capek seperti saat itu. hanya saja di malam ke-3 sofa ini PENUH keluarga pasien yang menjaga dan mereka tidur semua diatas sofa dengan mengabaikan tulisan 'dilarang tidur di sofa' *sigh*
Sudah pagi dan saya berdebar-debar menunggu kedatangan dokter yang bertugas menangani kasus Nenek. Nenek ini menderita iritasi lambung akut, fraktur tulang pinggul dan feses yang disertai darah serta nenek sudah tak mampu berjalan lagi bahkan kesulitan untuk bangun sendiri dari tempat tidur. Sungguh kasus yang membingungkan untuk dokter hewan seperti saya. Setelah berbincang sedikit dengan dokter, dokter mengatakan jika komposisi elektrolit dalam darah Nenek bisa normal dan nenek bisa makan bubur tanpa muntah, Nenek bisa pulang. Sesungguhnya kami ingin agar Nenek dirawat di rumah saja oleh dokter langsung alias home care. Jujur saja kami tidak kuat dengan biaya RS mengingat kami membayar tanpa bantuan asuransi apapun, BPJS sekalipun belum diurus.. Sebenarnya saya memiliki banyak nomer dokter yang menyediakan jasa home care. Hanya saja ibu saya tidak sreg kalau bukan dokter dari RS tersebut. Sambil menunggu kapan Nenek bisa kembali pulih dan diijinkan pulang, kami tangguhkan opsi home care tersebut.
karena nenek sudah menjelang 83 tahun, ditambahkan tanda 'fall risk' yang artinya berisiko terkena serangan jantung.
Pada keesokan harinya malah saya yang sempat menjadi pasien di RS tersebut, pasien instalasi gawat darurat pun... Hahahaha! Ceritanya saya mendapat jatah pulang dan tidur di rumah Pucang. Sebelumnya saya sempat berjalan-jalan dengan adik kelas saya untuk makan malam dan ke mol untuk melihat-lihat harga bed untuk orang sakit dan ngopi bentar. Iya, saya ini nggak bisa kalau gak ngopi. Sekalipun kopinya ringan asal udah kena kopi saya sudah cukup senang :D
Sepulangnya dari mol sempat tertahan hujan yang cukup deras. Saya pun pulang dalam keadaan lelah yang tidak biasa yang tanpa saya sangka, ketika jam 12 malam tiba-tiba saya merasa ingin buang air kecil terus-terusan alias 'anyang-anyangen' kalau kata orang Jawa. Bahasa medisnya anyang-anyangen itu apa ya? :'D
Nggak tanggung-tanggung, saya ke kamar mandi sudah lebih dari 10 kali! Kepala udah puyeng gak karuan bahkan rasanya mau jatuh saja. Pingsan? Nggak juga...tapi sudah berkunang-kunang rasanya. Sudah jam 2 pagi dan saya makin tersiksa rasanya. Nekat. Saya bergegas bersiap untuk ke RS. Kembali ke RS tempat nenek dirawat dengan diantar si bapak penjaga rumah. Saya berjalan sendiri menuju lorong IRD. Sialnya lagi, saya memilih jalan yang salah. Sekalipun saya sempat melihat tanda petunjuk 'Kamar mayat' disertai arah panah ke kiri, saya sama sekali tidak merasa takut. Gimana mau takut... Perut bagian bawah saya sakit sekali rasanya, sekujur badan berasa remuk tak keruan, "sudah gak ada waktu untuk takut dengan kamar mayat", pikir saya. Sesampainya di IGD yang mana para suster sedang tertidur lelap, dengan susah payah saya membangunkan mereka. Suhu di IGD tersebut tak ubahnya kota Batu di bulan Januari-Februari dan malam hari, DINGIIIN! Suster akhirnya menolong saya ke salah satu tempat tidur, memasang alat untuk mengukur tanda vital tubuh seperti tekanan darah dan denyut jantung. Semua normal. Tapiiiii tetap saja rasanya saya ini akan jatuh. Setelah dilakukan pemeriksaan urin, saya dipersilahkan menunggu sambil tidur di salah satu bilik periksa. Sekalipun saya sulit tidur karena suhu dingin tadi, saya memaksakan diri untuk memejamkan mata. Antara sadar dan tidak sadar yang saya ingat hanya dingin saja. Pukul 4 pagi, hasil lab keluar dan dokter kemudian memberikan resep untuk kemudian saya bisa mengambil obatnya di bagian farmasi. Segera setelahnya saya menuju kamar 601 tempat nenek dirawat dan dijaga oleh ibu saya. Saya meminta sedikit roti yang ada untuk meminum obat dan menceritakan apa yang baru saja saya alami ke ibu saya. Ibu saya hanya berwajah datar saja. Pikiran beliau terlalu panik untuk Nenek saat itu...
ini SAYA yang dipasang beginian... keren ya? Tapi OGAH kalo harus dipasang beginian lagi karena sakit yang menyedihkan... :'(
Setelah meminum obat saya merasa baik dan saya bisa kembali beraktivitas seperti biasa, saya kembali menuju RS untuk memenuhi janji akan bertemu dengan dokter ortopedi yang menangani kasus Nenek. Dokter ortopedi tersebut tak lain adalah dokter yang pernah memasang pen di ankle saya ketika saya terjatuh dari komuter dulu, awal kuliah. Sedikit bernostalgia dengan dokter tersebut dan ternyata dokter tersebut sempat menempuh pendidikan Doktor yang mana dibawah bimbingan dosen saya di FKH, dokter hewan membimbing dokter umum, senang juga saya mendengarnya. Hehe... Sekalipun memang dosen saya yang menjadi pembimbing tersebut sudah berstatus Profesor alias guru besar :D
Dokter ortopedi lantas menyarankan Nenek untuk dilakukan fisioterapi di rumah saja. Hati ini terasa semakin ringan dengan penjelasan dokter ortopedi tersebut. Sebab agaknya ada harapan Nenek bisa sembuh sekalipun tidak untuk bisa berjalan normal tetapi paling tidak Nenek diusahakan bisa bangkit sendiri dari tempat tidur. Usai berkonsultasi dengan dokter ortopedi yang mana itu baru selesai pukul 11 malam karena antrian pasien yang sungguh panjang, saya kelaparan. Kantin RS tempat saya biasa makan sudah tutup dan minimarket 24 jam yang berada di lobi RS pun mendadak tutup karena ada 'stok opname'. Tuhan, ampun deh! Ini sial lagi apa keberuntungan karena pada akhirnya saya makan menggunakan jasa pengiriman 14045, tau sendiri itu apa, kan...? :D
Begitulah kehidupan saya selama 3 malam di RS. Semogaaaa gak lagi-lagi nungguin orang lain di RS. Semoga yang membaca ini semuanya diberikan kesehatan dan kebahagiaan... Amiiiiin. :')
No comments:
Post a Comment